Wajib Surat Dokter? Ini Aturan Cuti Sakit Karyawan Swasta!
Pelajari aturan cuti sakit karyawan swasta menurut UU Ketenagakerjaan, durasi cuti, syarat surat dokter, hingga ketentuan PHK!
Aturan cuti sakit karyawan swasta tentu tidak berbeda jauh dengan ketentuan yang berlaku bagi karyawan pada umumnya, sebab cuti merupakan salah satu hak yang wajib diberikan perusahaan kepada karyawan yang mengalami berbagai gangguan, seperti sakit.
Hal ini tercantum dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan tetap wajib membayar upah karyawan yang tidak masuk kerja karena sakit, selama disertai dengan surat keterangan dokter.
Agar tidak menimbulkan kebingungan, baik dari sisi karyawan maupun HR, pengajuan cuti sakit perlu diatur secara jelas dalam kebijakan internal perusahaan, mulai dari syarat surat keterangan, durasi istirahat yang diperbolehkan, hingga pengelolaan absensi dan payroll selama masa sakit, semuanya harus diperhatikan.
Artikel ini akan membahas ketentuan hukum, kebijakan terkait surat dokter, serta tips mengelola cuti sakit secara profesional dan efisien.
Ketentuan Perundang-Undangan Cuti Sakit Karyawan Swasta

Dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, ketentuan cuti sakit bagi karyawan swasta diatur secara jelas dalam beberapa regulasi penting, salah satunya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya pada Pasal 93 ayat (1) dan (2).
Pasal tersebut menyebutkan:
- Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
- Ketentuan pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
- (a) Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
- (b) Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Berdasarkan ketentuan di atas, perusahaan tidak dapat serta-merta memotong upah karyawan yang tidak hadir karena sakit.
Bahkan, karyawan perempuan yang tidak dapat bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid juga berhak mendapatkan upah penuh meskipun tidak bekerja, selama kondisi tersebut dilaporkan sesuai prosedur perusahaan.
Artinya, selama karyawan dapat memberikan bukti yang sah, dalam hal ini surat keterangan dokter atau pemberitahuan sakit yang diakui perusahaan, perusahaan tetap berkewajiban membayar upah secara penuh selama masa sakit tersebut.
Selain itu, regulasi ini juga diperkuat dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
PP ini menyatakan bahwa pekerja yang sakit dan memiliki bukti surat keterangan dari dokter berhak atas pembayaran upah sesuai masa kerja dan skema kompensasi yang berlaku.
Dengan adanya landasan hukum ini, penting bagi HR untuk menyusun kebijakan cuti sakit yang tidak hanya adil secara internal, tetapi juga selaras dengan peraturan pemerintah demi menghindari risiko ketenagakerjaan di kemudian hari.
Durasi Cuti Sakit & Besaran Upah yang Dibayarkan

Durasi cuti sakit tidak diatur secara baku dalam undang-undang, tetapi perusahaan umumnya mencantumkan ketentuan ini dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Biasanya, cuti sakit diberikan sesuai kebutuhan medis dan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter.
Setiap perusahaan juga wajib mendaftarkan seluruh karyawannya sebagai peserta jaminan kesehatan dan sosial yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Tujuan dari pendaftaran ini adalah memberikan perlindungan kepada karyawan yang mengalami sakit atau kecelakaan kerja.
Selain itu, beberapa perusahaan juga memberikan penggantian biaya pengobatan tertentu bagi karyawan, sesuai dengan kebijakan internal masing-masing.
Lalu, berapa lama karyawan bisa mengambil cuti sakit yang tetap dibayarkan oleh perusahaan?
Hal ini dijelaskan secara rinci dalam Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, yang mengatur masa cuti sakit dan besaran upah yang tetap wajib dibayarkan oleh perusahaan sebagai berikut:
- 4 bulan pertama: 100% dari upah
- 4 bulan kedua: 75% dari upah
- 4 bulan ketiga: 50% dari upah
- Bulan berikutnya: 25% dari upah hingga adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Ketentuan ini hanya berlaku apabila karyawan menyertakan surat keterangan medis dari dokter atau rumah sakit, atau rekomendasi tertulis dari dokter yang menyatakan bahwa karyawan tersebut harus menjalani masa istirahat panjang akibat kondisi kesehatan tertentu.
Dengan demikian, perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk membayarkan upah secara bertahap sesuai durasi sakit yang dialami karyawan, selama karyawan memenuhi persyaratan administrasi dan bukti medis yang sah.
Baca juga: Apakah Cuti Potong Gaji? Ketahui Aturan Lengkapnya!
Apakah Cuti Sakit Perlu Surat Dokter?
Seperti yang telah disebut beberapa kali sebelumnya, secara umum, surat keterangan dokter merupakan dokumen yang dibutuhkan saat karyawan mengambil cuti sakit.
Dokumen ini berfungsi sebagai bukti bahwa kondisi kesehatan karyawan memang memerlukan waktu untuk pemulihan, serta sebagai dasar bagi HR dalam mencatat absensi dan penggajian.
Namun, kapan surat keterangan dokter ini wajib diserahkan? Berikut ini beberapa situasi yang perlu Anda perhatikan sebagai tim HR:
1. Kebijakan Perusahaan
Pasal 93 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa karyawan yang tidak masuk kerja dan tidak memiliki bukti sakit berupa surat dokter tidak berhak atas upah.
Maka dari itu, penting bagi perusahaan untuk memiliki kebijakan internal yang mengatur syarat pengajuan cuti sakit, termasuk batas hari dan kebutuhan surat dokter.
Beberapa perusahaan mensyaratkan surat dokter jika sakit lebih dari 1 hari, sementara lainnya hanya mewajibkan dokumen ini apabila cuti sakit berlangsung lebih dari 2 hari berturut-turut.
2. Kondisi Medis yang Butuh Verifikasi
Beberapa penyakit seperti demam berdarah, Covid-19, atau penyakit menular lainnya perlu verifikasi lebih lanjut.
Oleh karena itu, surat dokter dalam hal ini berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban medis bahwa karyawan memang tidak dalam kondisi layak untuk bekerja atau perlu menjalani isolasi.
3. Cuti Sakit dalam Durasi yang Lama
Jika karyawan Anda mengajukan cuti sakit dalam jangka waktu panjang, maka surat keterangan dari dokter atau bahkan spesialis menjadi sangat penting.
Surat ini akan memuat informasi medis, estimasi waktu pemulihan, serta rekomendasi bagi perusahaan dalam menentukan cuti lanjutan atau evaluasi kinerja.
4. Permintaan dari Pihak Berwenang
Surat dokter juga menjadi dokumen wajib dalam proses klaim asuransi, audit BPJS Kesehatan, maupun pengajuan kompensasi lainnya.
Oleh karena itu, HR perlu memastikan bahwa data karyawan dan dokumen medis disimpan dengan baik.
Ketentuan PHK karena Cuti Sakit

Salah satu isu yang cukup sensitif dalam dunia ketenagakerjaan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat cuti sakit berkepanjangan.
Berdasarkan Pasal 154A ayat (1) huruf h UU Cipta Kerja, PHK dapat dilakukan jika karyawan tidak mampu bekerja selama lebih dari 12 bulan akibat sakit yang berkepanjangan dan tidak menunjukkan perkembangan signifikan.
Namun, penting untuk diingat bahwa PHK tidak dapat dilakukan secara sepihak. Perusahaan wajib memastikan terdapat bukti medis yang sah, serta telah memberikan kesempatan yang cukup bagi karyawan untuk menjalani pemulihan.
Ketentuan tersebut perlu dilihat pula dalam konteks Pasal 153 UU Ketenagakerjaan yang menegaskan bahwa:
- Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
- Pengusaha juga dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Dengan demikian, perusahaan dapat melakukan PHK apabila karyawan telah mengambil cuti sakit lebih dari 12 bulan berturut-turut, dan selama itu tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan berdasarkan evaluasi medis.
Namun, jika sakit disebabkan oleh kecelakaan kerja atau penyakit akibat hubungan kerja, dan dokter tidak dapat menentukan waktu pemulihan secara pasti, maka perusahaan tidak diperkenankan memutuskan hubungan kerja.
Baca juga: Aturan Cuti Karyawan Swasta Terbaru Sesuai UU Ketenagakerjaan
Tips Membuat Kebijakan Internal terkait Cuti Sakit Karyawan
Agar pengelolaan cuti sakit berjalan lancar dan adil, perusahaan perlu menyusun kebijakan internal yang jelas.
Berikut ini adalah beberapa poin penting yang dapat Anda terapkan dalam merumuskan aturan cuti sakit di lingkungan kerja Anda:
1. Tentukan Batas Hari Cuti Sakit Tanpa Surat Dokter
Menentukan batas hari cuti sakit tanpa surat dokter akan membantu HR memilah kondisi yang membutuhkan verifikasi medis.
Misalnya, perusahaan dapat menetapkan bahwa karyawan hanya boleh mengambil cuti sakit tanpa surat dokter maksimal 1 hari dalam satu bulan.
Kebijakan ini sebaiknya tertulis dalam peraturan perusahaan atau disampaikan dalam buku panduan karyawan agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.
2. Tegaskan Bahwa Surat Keterangan Dokter Wajib Diserahkan
Perusahaan perlu menegaskan bahwa surat keterangan dokter wajib dilampirkan apabila cuti sakit melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
Hal ini penting sebagai bentuk validasi medis bahwa karyawan benar-benar memerlukan waktu pemulihan.
Surat keterangan ini juga akan mempengaruhi penghitungan upah karyawan selama masa cuti sakit.
Tanpa dokumen ini, perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayar gaji, sesuai dengan Pasal 93 UU Ketenagakerjaan.
3. Cantumkan Alur Pengajuan Cuti secara Sistematis
Alur pengajuan cuti perlu dijelaskan secara sistematis, mulai dari siapa yang harus dihubungi, media yang digunakan (email, aplikasi, atau formulir), hingga batas waktu pengajuan. Hal ini penting untuk menjaga transparansi dan kelancaran operasional tim.
Misalnya, karyawan diminta mengirimkan pemberitahuan via aplikasi HRIS atau email maksimal 2 jam setelah jam kerja dimulai.
Jika memungkinkan, HR juga bisa menyediakan template standar untuk pengajuan cuti sakit.
4. Sertakan Prosedur Pelaporan Sakit Mendadak
Tidak semua kondisi sakit bisa diprediksi sebelumnya. Oleh karena itu, perusahaan juga perlu menetapkan prosedur pelaporan sakit mendadak, terutama bagi karyawan yang tiba-tiba tidak dapat hadir.
Salah satu caranya adalah dengan meminta karyawan memberikan notifikasi sesegera mungkin melalui media komunikasi internal, seperti WhatsApp grup tim, email, atau aplikasi HRIS yang mendukung laporan cepat.
5. Gunakan Sistem HRIS untuk Pencatatan dan Validasi Cuti
Salah satu solusi terbaik dalam pengelolaan cuti sakit adalah dengan menggunakan sistem HRIS (Human Resource Information System).
Sistem ini memungkinkan HR untuk mencatat, menyetujui, dan memantau cuti secara otomatis dan terpusat.
Dengan HRIS, karyawan dapat mengunggah surat dokter langsung melalui aplikasi, dan data cuti akan tercatat secara real-time. Hal ini juga membantu tim HR membuat laporan absensi dan menghitung gaji secara akurat.
Kelola Cuti Sakit dan Cuti Lainnya dengan HRIS KantorKu

Permudah urusan pengajuan dan persetujuan cuti di perusahaan dengan HRIS KantorKu!
Kini, proses pengajuan dan persetujuan cuti bisa dilakukan lebih cepat, praktis, dan efisien dengan aplikasi cuti karyawan di HRIS KantorKu, yang terintegrasi langsung dalam sistem HRIS (Human Resources Information System).

Dengan HRIS KantorKu, Anda dapat:
- Menerima dan menyetujui pengajuan cuti dari karyawan langsung melalui dashboard yang user-friendly
- Melacak riwayat cuti setiap karyawan secara real-time dan terstruktur
- Menyimpan dan mengelola surat keterangan dokter secara digital tanpa repot
- Menghubungkan data cuti dengan absensi dan payroll, sehingga semuanya otomatis dan sinkron
Semua data cuti tersimpan aman dan bisa diakses kapan saja! Anda pun tidak perlu lagi mengecek tumpukan dokumen fisik atau file Excel manual.
KantorKu membantu Anda menyederhanakan proses HR harian, sehingga Anda bisa fokus pada pengambilan keputusan strategis.
Tak hanya itu, Anda juga bisa memantau kehadiran karyawan setelah cuti dengan sistem absensi otomatis yang terintegrasi, memastikan semua kembali berjalan lancar begitu mereka masuk kerja.
Sumber:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Table of Contents
- Ketentuan Perundang-Undangan Cuti Sakit Karyawan Swasta
- Durasi Cuti Sakit & Besaran Upah yang Dibayarkan
- Apakah Cuti Sakit Perlu Surat Dokter?
- 1. Kebijakan Perusahaan
- 2. Kondisi Medis yang Butuh Verifikasi
- 3. Cuti Sakit dalam Durasi yang Lama
- 4. Permintaan dari Pihak Berwenang
- Ketentuan PHK karena Cuti Sakit
- Tips Membuat Kebijakan Internal terkait Cuti Sakit Karyawan
- 1. Tentukan Batas Hari Cuti Sakit Tanpa Surat Dokter
- 2. Tegaskan Bahwa Surat Keterangan Dokter Wajib Diserahkan
- 3. Cantumkan Alur Pengajuan Cuti secara Sistematis
- 4. Sertakan Prosedur Pelaporan Sakit Mendadak
- 5. Gunakan Sistem HRIS untuk Pencatatan dan Validasi Cuti
- Kelola Cuti Sakit dan Cuti Lainnya dengan HRIS KantorKu
Table of Contents
- Ketentuan Perundang-Undangan Cuti Sakit Karyawan Swasta
- Durasi Cuti Sakit & Besaran Upah yang Dibayarkan
- Apakah Cuti Sakit Perlu Surat Dokter?
- 1. Kebijakan Perusahaan
- 2. Kondisi Medis yang Butuh Verifikasi
- 3. Cuti Sakit dalam Durasi yang Lama
- 4. Permintaan dari Pihak Berwenang
- Ketentuan PHK karena Cuti Sakit
- Tips Membuat Kebijakan Internal terkait Cuti Sakit Karyawan
- 1. Tentukan Batas Hari Cuti Sakit Tanpa Surat Dokter
- 2. Tegaskan Bahwa Surat Keterangan Dokter Wajib Diserahkan
- 3. Cantumkan Alur Pengajuan Cuti secara Sistematis
- 4. Sertakan Prosedur Pelaporan Sakit Mendadak
- 5. Gunakan Sistem HRIS untuk Pencatatan dan Validasi Cuti
- Kelola Cuti Sakit dan Cuti Lainnya dengan HRIS KantorKu