Cuti Melahirkan untuk Suami: Hak, Aturan, & Dasar Hukumnya
Cuti melahirkan untuk suami: hadir dampingi istri 2–5 hari, gaji penuh dijamin UU KIA Pasal 6 ayat (2). Cari tahu apa saja hak-haknya!
Table of Contents
- Apa Itu Cuti Melahirkan untuk Suami (Paternity Leave)?
- Kenapa Cuti Melahirkan Untuk Suami Penting?
- Dasar Hukum Cuti Melahirkan Untuk Suami
- Aturan Cuti Melahirkan untuk Suami di Indonesia
- Cuti Melahirkan Suami PNS
- Sulit Mengurus Cuti Karyawan Satu per Satu? Yuk, Urus Cuti Secara Otomatis Pakai KantorKu HRIS!
Table of Contents
- Apa Itu Cuti Melahirkan untuk Suami (Paternity Leave)?
- Kenapa Cuti Melahirkan Untuk Suami Penting?
- Dasar Hukum Cuti Melahirkan Untuk Suami
- Aturan Cuti Melahirkan untuk Suami di Indonesia
- Cuti Melahirkan Suami PNS
- Sulit Mengurus Cuti Karyawan Satu per Satu? Yuk, Urus Cuti Secara Otomatis Pakai KantorKu HRIS!
Cuti melahirkan untuk suami adalah suatu kebijakan cuti yang diatur oleh negara untuk kondisi ketika istri sedang melahirkan.
Dengan adanya dukungan nyata yang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan Indonesia, para suami diluar sana diharapkan bisa lebih dekat dan mendampingi ketika istrinya melahirkan.
Sebagai HR atau pelaku usaha, memahami peraturan cuti melahirkan untuk suami menjadi hal penting agar kebijakan perusahaan selaras dengan hukum, sekaligus memperkuat citra sebagai organisasi yang ramah keluarga.
Oleh karena itu, artikel ini akan membahas detail tentang definisi, pentingnya, dasar hukum, aturan teknis, hingga implementasi cuti istri melahirkan untuk suami. Mari kita bahas lebih dalam.
Apa Itu Cuti Melahirkan untuk Suami (Paternity Leave)?

Cuti melahirkan untuk suami atau paternity leave adalah hak cuti yang diberikan kepada pekerja laki-laki untuk mendampingi istrinya saat melahirkan.
Hak ini izin tidak masuk kerja ini diakui sebagai bagian dari regulasi ketenagakerjaan yang mengutamakan kesejahteraan keluarga.
Dalam praktiknya, cuti melahirkan untuk suami ingin memastikan bahwa suami dapat hadir mendukung proses persalinan, mendampingi pemulihan istri, sekaligus ikut merawat bayi di hari-hari awal kelahiran.
Di Indonesia, cuti untuk suami yang istrinya melahirkan memang masih terbatas jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Namun, keberadaannya tetap penting karena memberikan perlindungan hukum baik untuk pekerja maupun perusahaan.
Dengan pemahaman yang tepat, HR dapat mengelola kebijakan cuti istri melahirkan untuk suami secara adil tanpa mengorbankan produktivitas perusahaan.
Kenapa Cuti Melahirkan Untuk Suami Penting?

Berikut adalah beberapa alasan mendasar mengapa cuti untuk suami yang istrinya melahirkan sangat penting dan tidak boleh dianggap sebelah mata.
1. Memberikan Dukungan untuk Istri
Momen melahirkan bukan hanya soal proses medis, tetapi juga perjalanan emosional yang sangat besar bagi seorang ibu. Rasa takut, cemas, dan rasa sakit bercampur jadi satu, sehingga kehadiran suami bisa menjadi sumber kekuatan yang menenangkan.
Dengan adanya cuti melahirkan untuk suami, pekerja laki-laki tidak perlu terbebani oleh urusan pekerjaan dan bisa fokus memberikan dukungan moral maupun fisik kepada istrinya.
Kehadiran ini terbukti dapat mempercepat pemulihan pasca melahirkan karena ibu merasa dihargai dan tidak sendirian.
Dari sudut pandang HR maupun perusahaan, kebijakan cuti untuk suami yang istrinya melahirkan juga mencerminkan kepedulian pada kesejahteraan karyawan. Perempuan yang merasa didukung penuh oleh pasangan akan lebih loyal terhadap perusahaan, karena menyadari bahwa lingkungan kerjanya ikut memfasilitasi proses penting dalam hidup keluarganya.
2. Membangun Ikatan Erat Ayah dan Anak Sejak Dini
Ikatan emosional antara ayah dan anak tidak otomatis terbentuk, melainkan harus dibangun sejak hari pertama kelahiran.
Melalui cuti istri melahirkan untuk suami, pekerja laki-laki punya kesempatan emas untuk ikut terlibat dalam momen-momen pertama bayi, seperti menggendong, menimang, atau sekadar menemani di ruang perawatan.
Aktivitas sederhana ini sangat penting dalam menciptakan bonding yang kelak berpengaruh besar terhadap perkembangan psikologis anak.
Jika ayah terlibat sejak awal, hubungan dengan anak akan lebih erat dan penuh rasa percaya. Hal ini bukan hanya bermanfaat bagi anak, tetapi juga memberi kepuasan emosional bagi ayah itu sendiri.
Perusahaan yang memahami pentingnya bonding ini akan dipandang lebih progresif dan berorientasi pada keluarga, sehingga bisa menarik minat kandidat berkualitas untuk bergabung.
3. Menurunkan Risiko Kelelahan pada Ibu
Depresi pasca persalinan atau postpartum depression masih menjadi masalah serius yang kerap dialami ibu baru. Salah satu faktor pemicu utama adalah rasa kelelahan yang luar biasa serta kurangnya dukungan dari pasangan.
Di sinilah peran cuti melahirkan untuk suami menjadi krusial. Dengan adanya cuti ini, suami bisa membantu mengurus bayi, mengatur kebutuhan rumah tangga, atau sekadar menjadi pendengar yang baik bagi istrinya.
Dukungan emosional dan fisik dari pasangan terbukti dapat menurunkan risiko baby blues maupun depresi pasca persalinan.
Bagi HR atau pelaku usaha, pemahaman ini penting karena kondisi mental ibu yang lebih stabil akan memengaruhi konsentrasi, produktivitas, dan semangat kerja karyawan perempuan ketika mereka kembali bekerja.
4. Mencegah Meningkatnya “Fatherless” di Indonesia
Fenomena fatherless, yakni minimnya keterlibatan ayah dalam kehidupan anak, masih cukup tinggi di Indonesia. Padahal, kehadiran figur ayah sejak awal terbukti berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter, rasa percaya diri, dan perkembangan sosial anak.
Peraturan cuti melahirkan untuk suami membantu mendorong keterlibatan ayah, setidaknya pada fase paling awal yang krusial.
5. Menjadi Manfaat Fisiologis pada Bayi
Keterlibatan ayah dalam merawat bayi bukan hanya urusan emosional, tetapi juga berdampak langsung pada kesehatan bayi.
Kontak kulit antara ayah dan bayi dapat membantu menstabilkan detak jantung, pernapasan, serta suhu tubuh bayi.
Bayi yang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya cenderung lebih tenang, tidur lebih baik, dan menunjukkan perkembangan motorik serta kognitif yang lebih sehat.
Cuti istri melahirkan untuk suami memberi ruang bagi ayah untuk terlibat dalam aktivitas dasar seperti memandikan, mengganti popok, atau sekadar menenangkan bayi yang menangis. Aktivitas ini sederhana, tetapi efek jangka panjangnya luar biasa.
Dasar Hukum Cuti Melahirkan Untuk Suami

Dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia, hak cuti melahirkan untuk suami sudah memiliki dasar hukum yang jelas. Hal ini penting agar perusahaan maupun HR tidak salah langkah dalam mengatur kebijakan cuti, sekaligus memastikan pekerja laki-laki dapat menjalankan perannya sebagai suami dan ayah dengan tenang.
Berikut adalah beberapa regulasi utama yang menjadi pijakan:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi dasar paling awal yang mengatur hak pekerja atas cuti. Pada Pasal 93 ayat (4) huruf e, disebutkan bahwa pekerja atau buruh tidak wajib bekerja dan tetap berhak atas upah penuh jika istri melahirkan.
Artinya, pekerja laki-laki mendapatkan cuti mendampingi istri dan tetap digaji, sehingga ini menegaskan bahwa perusahaan wajib memberikan izin tanpa memotong hak cuti tahunan atau gaji pekerja.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) hadir sebagai regulasi terbaru yang memperluas perspektif soal kesejahteraan ibu dan anak.
Salah satu poin pentingnya adalah menegaskan peran ayah dalam mendampingi proses persalinan serta fase awal pengasuhan.
Walaupun durasi cuti untuk suami yang istrinya melahirkan masih merujuk pada ketentuan di UU Ketenagakerjaan, UU KIA memberi payung hukum yang lebih komprehensif.
Regulasi ini menempatkan ayah bukan hanya sebagai penanggung jawab nafkah, tetapi juga mitra aktif dalam pengasuhan sejak bayi lahir.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Kemudian, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja hadir sebagai revisi dan penyesuaian terhadap UU Ketenagakerjaan, termasuk mengatur ulang beberapa aspek cuti dan hak-hak pekerja.
Walaupun tidak secara spesifik memperluas durasi cuti istri melahirkan untuk suami, Perppu ini menegaskan kepastian soal upah dan perlindungan hubungan kerja.
Dengan adanya regulasi ini, perusahaan wajib memastikan bahwa karyawan yang mengambil cuti melahirkan untuk suami tetap mendapatkan haknya secara penuh tanpa diskriminasi.
Baca Juga: Aturan Cuti Karyawan Swasta Terbaru Sesuai UU Ketenagakerjaan
Aturan Cuti Melahirkan untuk Suami di Indonesia

Hak cuti melahirkan untuk suami diatur jelas dalam undang-undang, namun praktiknya di perusahaan sering menimbulkan pertanyaan teknis seperti, berapa hari, bagaimana sistem pembayarannya, apakah berlaku untuk karyawan kontrak, sampai bagaimana pencatatannya dalam sistem HR.
Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan mendalam mengenai poin-poin utama aturan cuti melahirkan di Indonesia:
1. Durasi Cuti Melahirkan untuk Ayah Berapa Hari?
Durasi cuti melahirkan untuk suami kini tak lagi sebatas “izin 2 hari” seperti dulu. Melalui UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) 2024, hak cuti ayah kini lebih rinci dan kontekstual.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU KIA, suami berhak mendapatkan:
- 2 hari cuti saat istri melahirkan, dengan opsi perpanjangan maksimal 3 hari tambahan, atau sesuai kesepakatan dengan perusahaan.
- 2 hari cuti jika istri mengalami keguguran.
Walaupun sekilas terlihat singkat, cuti ini punya makna besar. Dua hingga lima hari pertama pascapersalinan adalah fase kritis bagi ibu sekaligus waktu emas membangun ikatan ayah-anak.
Beberapa perusahaan yang pro-keluarga bahkan menambahkan cuti ekstra atau menerapkan opsi work from home agar karyawan tetap bisa dekat dengan keluarga tanpa kehilangan produktivitas kerja.
2. Pembayaran Upah Selama Cuti
Pertanyaan klasik yang sering muncul dari karyawan laki-laki adalah, “Kalau saya ambil cuti mendampingi istri melahirkan, apakah tetap digaji penuh?” Jawabannya: ya, tetap digaji penuh.
Hal ini diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Disebutkan jelas bahwa pekerja/buruh tetap berhak atas upah apabila tidak bekerja karena istri melahirkan atau keguguran kandungan.
Artinya, perusahaan wajib membayarkan gaji penuh selama cuti ini. Dari sisi HR, penting untuk mengintegrasikan aturan ini ke sistem payroll agar tidak ada miskalkulasi, apalagi untuk karyawan kontrak atau yang dibayar harian.
Dengan begitu, hak karyawan terlindungi, perusahaan pun terhindar dari potensi sengketa ketenagakerjaan.
Baca Juga: Apakah Cuti Potong Gaji? Ketahui Aturan Lengkapnya
3. Kewajiban Suami Mendampingi Istri saat Cuti Melahirkan
Cuti melahirkan untuk suami diberikan sejatinya sebagai bentuk kewajiban moral sekaligus hukum. Dalam Pasal 6 ayat (4) UU KIA, suami diwajibkan berperan aktif dalam menjaga kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan.
Tugas suami yang diatur undang-undang antara lain:
- Membantu menjaga kesehatan ibu dan anak.
- Memastikan gizi ibu dan anak tercukupi.
- Mendukung pemberian ASI eksklusif sejak bayi lahir hingga usia 6 bulan.
- Mendampingi istri dan anak dalam mengakses layanan kesehatan serta pemenuhan gizi.
Bagi HR, poin ini berarti cuti tidak boleh dianggap sebagai kelonggaran biasa. Ada fungsi sosial yang lebih besar: memastikan pekerja bisa hadir, mendukung keluarganya, dan pada akhirnya membawa dampak positif bagi stabilitas psikologis karyawan di tempat kerja.
4. Cakupan Cuti Melahirkan untuk Suami
Cuti istri melahirkan untuk suami tidak hanya berlaku di satu kondisi. UU KIA 2024 jelas telah memperluas cakupan agar suami bisa hadir di berbagai situasi penting yang berkaitan dengan kesehatan ibu maupun anak.
Selain cuti dasar untuk persalinan dan keguguran, suami juga bisa mengambil cuti dengan durasi “cukup” (disesuaikan kebutuhan) ketika menghadapi kondisi khusus, seperti:
- Istri mengalami komplikasi atau gangguan kesehatan setelah melahirkan/keguguran.
- Bayi yang lahir mengalami masalah kesehatan serius.
- Istri meninggal dunia pascapersalinan.
- Anak meninggal dunia setelah dilahirkan.
Ringkasnya, berikut tabel durasi cuti melahirkan untuk suami berdasarkan kondisi:
5. Apakah Cuti Melahirkan untuk Suami Mengurangi Cuti Tahunan?
Apakah Cuti Melahirkan untuk Suami Mengurangi Cuti Tahunan? Jawaban singkatnya: tidak.
Cuti melahirkan untuk suami adalah hak khusus yang berdiri sendiri, terpisah dari cuti tahunan yang diatur dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Jadi, penggunaan cuti ini tidak akan mengurangi jatah cuti tahunan.
Dari sisi manajemen HR, pemisahan ini harus jelas dalam pencatatan cuti karyawan. Jika masih manual, sering kali cuti ini tercatat sebagai cuti tahunan, padahal seharusnya tidak. Solusinya, gunakan sistem HRIS yang mampu mengkategorikan jenis cuti secara otomatis.
Dengan begitu, transparansi terjaga, hak karyawan terpenuhi, dan administrasi perusahaan lebih rapi.
Cuti Melahirkan Suami PNS
Berbeda dengan karyawan swasta, aturan cuti pendampingan istri melahirkan untuk PNS memiliki regulasi khusus. Payung hukumnya terdapat dalam PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan perubahannya di PP No. 17 Tahun 2020, serta aturan pelaksana dari BKN.
Dalam praktiknya, cuti melahirkan untuk suami yang berstatus PNS dikenal sebagai cuti alasan penting. HR di instansi pemerintahan perlu memahami prosedur pengajuannya, termasuk dokumen yang harus dilampirkan, durasi cuti, dan mekanisme pelaporan.
Bagi HRD, pemahaman ini penting untuk menghindari pelanggaran administratif sekaligus memberi kepastian hukum bagi pegawai.
Selain itu, cuti istri melahirkan untuk suami yang berstatus PNS menjadi bukti bahwa pemerintah mendorong peran aktif ayah dalam mendukung kesejahteraan keluarga.
Baca Juga: 17 Alasan Cuti Kerja yang Umum Digunakan oleh Karyawan!
Sulit Mengurus Cuti Karyawan Satu per Satu? Yuk, Urus Cuti Secara Otomatis Pakai KantorKu HRIS!
Pernah merasa repot saat harus mencatat, menghitung, atau menyetujui cuti karyawan secara manual? Selain memakan waktu, risiko kesalahan pencatatan juga besar, apalagi kalau jumlah karyawan semakin bertambah.
Hal kecil seperti keterlambatan persetujuan cuti bisa berimbas pada operasional perusahaan dan menimbulkan ketidakpuasan karyawan. Kalau dibiarkan, beban administrasi ini bisa menyita fokus HR dari hal-hal yang lebih strategis.
Daripada terus terbebani dengan pekerjaan manual, kini saatnya Anda beralih ke KantorKu HRIS.
Dengan aplikasi absensi KantorKu HRIS, pengajuan hingga persetujuan cuti dapat dilakukan langsung lewat aplikasi secara cepat dan transparan.

Semua data tersimpan otomatis dan terintegrasi dengan perhitungan gaji, sehingga HR lebih efisien dan karyawan pun merasa lebih puas.
Jadi, kelola hak cuti karyawan dan urusan payroll lebih mudah dengan KantorKu HRIS!

Tertarik Ingin Coba KantorKu HRIS Gratis?
Yuk, Coba Demo-nya Sekarang, Terbatas Hari Ini!

Related Articles

Basic Salary: Dasar Hukum, Komponen, & Cara Menghitungnya

Insentif Adalah: Manfaat, Tujuan, & Bedanya dengan Gaji/Bonus
