DPP Adalah: Jenis, Regulasi, serta Contoh DPP PPh & PPN
DPP adalah dasar pengenaan pajak untuk PPh dan PPN. Salah hitung bisa kena denda pajak, simak cara tepat menghitungnya di sini!
Table of Contents
- Apa itu DPP?
- Landasan Hukum Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di Indonesia
- Jenis DPP Pajak Penghasilan (PPh)
- Jenis DPP Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Perbedaan dengan PPN
- Regulasi Dasar Pemotongan PPh 21
- Contoh DPP PPh
- Contoh DPP PPN
- Cara menghitung DPP PPh 21
- Aman dari Denda Pajak, Atur Gaji dan PPh 21 Otomatis Pakai HRIS KantorKu!
Table of Contents
- Apa itu DPP?
- Landasan Hukum Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di Indonesia
- Jenis DPP Pajak Penghasilan (PPh)
- Jenis DPP Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Perbedaan dengan PPN
- Regulasi Dasar Pemotongan PPh 21
- Contoh DPP PPh
- Contoh DPP PPN
- Cara menghitung DPP PPh 21
- Aman dari Denda Pajak, Atur Gaji dan PPh 21 Otomatis Pakai HRIS KantorKu!
Key Takeaways Dasar Pengenaan Pajak (DPP) |
---|
• DPP adalah dasar menghitung PPh, PPN, & pajak lain |
• DPP bisa berupa harga jual, penghasilan, atau nilai impor |
• Jadi acuan tarif pajak yang dikenakan |
• Wajib sesuai ketentuan UU perpajakan |
• Kesalahan hitung berpotensi sanksi & denda |
DPP adalah atau Dasar Pengenaan Pajak digunakan sebagai acuan utama dalam menghitung besarnya pajak yang terutang, baik untuk Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dengan memahami DPP, Anda dapat memastikan kewajiban perpajakan perusahaan berjalan sesuai aturan dan terhindar dari sanksi administratif.
Bagi seorang pelaku usaha, ketepatan dalam menghitung DPP akan berdampak langsung pada efisiensi keuangan perusahaan.
Sedangkan bagi HR, pemahaman ini krusial karena terkait dengan pemotongan PPh 21 karyawan yang merupakan kewajiban perusahaan sebagai pemotong pajak.
Oleh karena itu, mari simak penjelasannya baik-baik agar Anda semakin paham dan mahir dalam memutuskannya.
Apa itu DPP?

Apa yang dimaksud dengan DPP? DPP merupakan singkatan dari Dasar Pengenaan Pajak, yaitu nilai tertentu yang dijadikan acuan untuk menghitung besarnya pajak terutang.
Definisi ini pertama kali tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
Apa itu DPP dalam pembayaran? Pada praktiknya, DPP digunakan untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar atau dipungut, baik dalam transaksi barang, jasa, maupun penghasilan.
Nilai DPP dapat berupa harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Landasan Hukum Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di Indonesia
Landasan hukum Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di Indonesia mencakup beberapa undang-undang dan peraturan utama, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
UU ini mengatur ketentuan umum mengenai perpajakan, termasuk dasar pengenaan pajak, tata cara pelaksanaan, serta hak dan kewajiban wajib pajak maupun pemerintah dalam urusan perpajakan.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) beserta Perubahan-perubahannya
UU No. 7 Tahun 1983 ini menjadi dasar hukum pengaturan pajak penghasilan, yang meliputi pengenaan pajak atas penghasilan wajib pajak orang pribadi maupun badan.
Jenis DPP Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pajak Penghasilan (PPh) memiliki beberapa jenis, tergantung pada ketentuan pasal dan jenis penghasilan yang dikenakan pajak.
Memahami jenis-jenis DPP PPh ini penting bagi pelaku usaha maupun HR, agar perhitungan pajak tepat dan sesuai peraturan yang berlaku.
Berikut jenis DPP Pajak Penghasilan (PPh):
1. DPP PPh Pasal 4 ayat 2
Jenis DPP ini digunakan untuk penghasilan tertentu dari sumber tertentu, misalnya jasa konstruksi, sewa tanah atau bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah undian, dan penghasilan sejenis lainnya.
Besaran pajak dihitung dari jumlah penghasilan yang diterima tanpa mengurangi biaya tertentu, sesuai ketentuan pasal 4 ayat 2 UU PPh.
2. DPP PPh Pasal 15
DPP Pasal 15 dihitung berdasarkan norma penghitungan khusus, yakni 4% dari peredaran bruto. Pajak yang terutang bersifat final dan besarnya 1,2% dari peredaran bruto.
Peredaran bruto mencakup semua imbalan atau nilai pengganti yang diterima wajib pajak perusahaan pelayaran, baik dari pengangkutan dalam negeri maupun internasional, sesuai ketentuan yang berlaku.
3. DPP PPh Pasal 21
Apa itu DPP PPH 21? DPP Pasal 21 digunakan untuk menentukan tarif pajak penghasilan karyawan dan penerima penghasilan lain yang bersifat pribadi. Besaran DPP berbeda-beda tergantung status pegawai:
- Pegawai tetap: Penghasilan kena pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan 5% (maks Rp500.000/bulan atau Rp6 juta/tahun), iuran pensiun, dan PTKP.
- Penerima pensiun berkala: Dikurangi biaya pensiun 5% (maks Rp200.000/bulan atau Rp2,4 juta/tahun) dan PTKP.
- Pegawai tidak tetap: Perhitungannya bergantung pada upah harian, mingguan, bulanan, atau borongan, serta batasan penghasilan kumulatif per bulan.
- Bukan pegawai: Umumnya dihitung 50% dari penghasilan bruto, dikurangi PTKP per bulan jika bersifat berkesinambungan.
Baca Juga: Cara Menghitung PPh 21 Karyawan Terbaru [+ Contoh & Rumusnya]
4. DPP PPh Pasal 22 atau Nilai Impor
DPP Pasal 22 menghitung pajak dari nilai impor barang, ditambah bea masuk dan pungutan lain sesuai UU Pabean, tidak termasuk PPN. Pajak ini dikenakan pada importir atau pihak yang melakukan pengadaan barang tertentu.
5. DPP PPh Pasal 23
DPP Pasal 23 diterapkan pada imbalan jasa tertentu, misalnya jasa manajemen, konsultan, dan jasa profesional lain.
Besaran DPP dihitung dari jumlah bruto pembayaran, tidak termasuk PPN, sesuai ketentuan pasal 23 UU PPh.
6. DPP PPh Pasal 26
DPP Pasal 26 digunakan untuk Wajib Pajak luar negeri dan terbagi menjadi dua jenis:
- Berdasarkan Penghasilan Bruto:
- Dividen, bunga, royalti, sewa, dan pendapatan dari penggunaan aset
- Insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
- Hadiah, penghargaan, pensiun, premi swap, dan keuntungan dari penghapusan utang
- Berdasarkan Perkiraan Penghasilan Neto:
- Penjualan atau pengalihan harta di Indonesia (kecuali diatur Pasal 4 ayat 2), bagi WP luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT)
- Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri
- Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
Jenis DPP Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dalam praktik perpajakan, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN berfungsi sebagai acuan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan UU PPN, DPP PPN dapat dibedakan menjadi beberapa kategori tergantung pada jenis transaksi dan penyerahan barang/jasa.
1. DPP Harga Jual
DPP ini merupakan nilai barang kena pajak sebelum dikenakan PPN, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicatat pada Faktur Pajak.
Konsep ini berlaku untuk penyerahan barang atau jasa yang dijual secara umum, sehingga harga jual menjadi dasar perhitungan pajak.
2. DPP Penggantian
Jenis ini berlaku untuk jasa kena pajak, di mana DPP ditetapkan dari nilai penggantian atau imbalan yang diminta penyedia jasa, dikurangi potongan harga yang tercantum pada Faktur Pajak.
Dengan demikian, nilai yang dipakai sebagai dasar pajak adalah jumlah yang sebenarnya diterima atau seharusnya diterima oleh penyedia jasa.
3. DPP Nilai Ekspor
Untuk barang yang diekspor, DPP ditetapkan berdasarkan nilai ekspor, yaitu seluruh nilai uang yang diterima atau seharusnya diterima eksportir. Nilai ini menjadi dasar perhitungan PPN atas penyerahan barang kena pajak ke luar negeri.
4. DPP Nilai Impor
Dalam impor, DPP dihitung dari nilai impor barang (Cost, Insurance, Freight/CIF) ditambah bea masuk dan pungutan lain sesuai ketentuan UU Pabean.
PPN atas impor dihitung dari dasar ini, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan UU PPN.
5. DPP Nilai Lain
DPP nilai lain ditetapkan untuk transaksi tertentu yang memiliki karakteristik khusus, seperti pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, atau jasa tertentu (pengiriman paket, biro perjalanan, dan pengurusan transportasi).
Nilai ini biasanya diatur dalam Pasal 8A ayat (2) UU PPN dan PMK No. 121/PMK.03/2015.
Beberapa contoh penentuan DPP nilai lain adalah:
- Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma BKP/JKP: dihitung dari harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
- Penyerahan film cerita: dihitung dari perkiraan rata-rata pendapatan per judul.
- Produk tembakau: menggunakan Harga Jual Eceran (HJE).
- BKP persediaan/aktiva tidak diperjualbelikan saat pembubaran perusahaan: dihitung berdasarkan harga pasar wajar.
- Penyerahan BKP antar cabang atau pusat-cabang: dihitung dari harga pokok perolehan (HPP).
- Jasa pengiriman paket, biro perjalanan, dan jasa transportasi tertentu: 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih, dengan tarif efektif 1%.
Perlu dicatat, pajak masukan dari beberapa transaksi dengan DPP nilai lain tidak dapat dikreditkan sesuai PMK No. 56/PMK.03/2015, antara lain:
- Penyerahan jasa pengiriman paket oleh penyedia jasa.
- Penyerahan jasa biro perjalanan wisata atau agen perjalanan wisata tanpa perjanjian jasa perantara yang sah.
- Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang termasuk biaya transportasi dalam tagihan.
Perbedaan dengan PPN
Lalu, apa beda DPP dan PPN? DPP adalah nilai dasar yang digunakan untuk menghitung pajak, sedangkan PPN adalah jumlah pajak yang terutang berdasarkan persentase tertentu dari DPP.
Sebagai ilustrasi, jika harga jual suatu barang Rp100.000.000 (DPP), maka PPN yang harus dipungut adalah 11% dari nilai tersebut, yakni Rp11.000.000.
Dengan kata lain, DPP berfungsi sebagai landasan perhitungan, sementara PPN adalah hasil perhitungan itu sendiri. Pemahaman ini penting agar Anda tidak keliru dalam menentukan jumlah pajak yang harus dipungut maupun disetor.
Regulasi Dasar Pemotongan PPh 21
Dalam konteks ketenagakerjaan, DPP PPh21 memiliki peran krusial. Peraturan mengenai pemotongan PPh 21 tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
HR memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemotongan dilakukan sesuai aturan. Kegagalan dalam menerapkan perhitungan DPP PPh21 dapat mengakibatkan perusahaan terkena sanksi administrasi berupa denda dan bunga.
Oleh karena itu, ketelitian dalam memahami regulasi ini sangat diperlukan.
Contoh DPP PPh
DPP digunakan sebagai acuan untuk menghitung Pajak Penghasilan, salah satunya PPh 21. Pajak ini berlaku bagi pegawai tetap, penerima pesangon, tenaga ahli, anggota dewan komisaris, dan beberapa jenis penghasilan lain yang diatur khusus.
Untuk lebih jelasnya, silakan cimak contoh DPP PPh di bawah ini:
Contoh 1:
Pegawai Tetap: Ibu Rina
Ibu Rina bekerja sebagai staf akuntansi di sebuah perusahaan manufaktur. Ia belum menikah dan memiliki gaji bulanan sebesar Rp12.500.000.
Biaya jabatan ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, dengan batas maksimum Rp500.000 per bulan. Ia bekerja sepanjang tahun dari Januari hingga Desember 2025.
Perhitungan DPP PPh 21:
- Gaji tahunan = 12 x Rp12.500.000 = Rp150.000.000
- Biaya jabatan = 5% x Rp150.000.000 = Rp7.500.000
- Penghasilan neto = Rp150.000.000 – Rp7.500.000 = Rp142.500.000
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (belum menikah, tanpa tanggungan) = Rp54.000.000
DPP PPh 21 = Penghasilan Neto – PTKP
DPP PPh 21 = Rp142.500.000 – Rp54.000.000
= Rp88.500.000
Jadi, Dasar Pengenaan Pajak PPh 21 untuk Ibu Rina adalah Rp88.500.000.
Contoh 2:
Pegawai Tetap: Bapak Dedi
Bapak Dedi bekerja sebagai supervisor di perusahaan IT. Ia sudah menikah dengan satu tanggungan, dan gaji bulanannya Rp18.000.000. Biaya jabatan tetap 5% dari penghasilan bruto.
Perhitungan DPP PPh 21:
- Gaji tahunan = 12 x Rp18.000.000 = Rp216.000.000
- Biaya jabatan = 5% x Rp216.000.000 = Rp10.800.000
- Penghasilan neto = Rp216.000.000 – Rp10.800.000 = Rp205.200.000
- PTKP (menikah + 1 tanggungan) = Rp58.500.000
DPP PPh 21 = Penghasilan Neto – PTKP
DPP PPh 21 = Rp205.200.000 – Rp58.500.000
= Rp146.700.000
Sehingga, DPP PPh 21 Bapak Dedi adalah Rp146.700.000.
Contoh 3:
Tenaga Ahli Lepas: Tuan Arif
Tuan Arif merupakan konsultan luar yang menerima honorarium proyek sebesar Rp30.000.000 selama 1 bulan. Perhitungannya menggunakan tarif bruto dan biaya jabatan 5% dari honorarium.
Perhitungan DPP PPh 21:
- Honorarium bruto = Rp30.000.000
- Biaya jabatan = 5% x Rp30.000.000 = Rp1.500.000
- Penghasilan neto = Rp30.000.000 – Rp1.500.000 = Rp28.500.000
- PTKP (pegawai tidak tetap tanpa tanggungan) = Rp0 (karena penghasilan per bulan melebihi batas PTKP minimum)
DPP PPh 21 = Penghasilan Neto – PTKP
DPP PPh 21 = Rp28.500.000 – Rp0
= Rp28.500.000
Dengan demikian, DPP PPh 21 Tuan Arif sebesar Rp28.500.000.
Contoh DPP PPN
DPP PPN menjadi acuan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. Berikut beberapa contoh praktis untuk mempermudah pemahaman Anda:
Contoh 1:
Harga Sudah Termasuk PPN
PT Sigma menjual mesin fotokopi seharga Rp33.000.000 pada 10 Mei 2023. Harga ini sudah termasuk PPN 11%.
Perhitungan DPP dan PPN:
Nilai Akhir = DPP + PPN
Rp33.000.000 = DPP + 11% × DPP
Rp33.000.000 = 1,11 × DPP
DPP = Rp33.000.000 ÷ 1,11 = Rp29.729.729
PPN = Rp33.000.000 – Rp29.729.729 = Rp3.270.271
Sehingga, DPP mesin fotokopi tersebut adalah Rp29.729.729, dan PPN terutang sebesar Rp3.270.271.
Contoh 2
Harga Belum Termasuk PPN
PT Sigma menjual software akuntansi kepada PT Omega dengan harga belum termasuk PPN sebesar Rp20.000.000. PPN yang berlaku adalah 11%.
Perhitungan DPP dan PPN:
DPP = Harga Bruto = Rp20.000.000
PPN = 11% × Rp20.000.000 = Rp2.200.000
Total Harga = DPP + PPN = Rp20.000.000 + Rp2.200.000
= Rp22.200.000
Dengan demikian, PT Omega harus membayar total Rp22.200.000 kepada PT Sigma.
Contoh 3
Penghitungan PPN dengan DPP Nilai Lain
PT Delta merupakan perusahaan jasa pengiriman di Surabaya. PT Epsilon memesan pengiriman paket dari Surabaya ke Semarang dengan biaya Rp4.500.000. PPN yang berlaku atas jasa ini adalah 1% (nilai lain).
Perhitungan DPP dan PPN:
DPP = (100 ÷ 101) × Rp4.500.000 = Rp4.455.445
PPN = (1 ÷ 101) × Rp4.500.000 = Rp44.555
Total Harga = DPP + PPN = Rp4.455.445 + Rp44.555
= Rp4.500.000
Sehingga PT Epsilon membayar Rp4.500.000, namun pajak masukan dari transaksi ini tidak dapat dikreditkan oleh PT Epsilon.
Contoh 4
Contoh Penghitungan PPN Tarif 11%
Sesuai UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN sejak April 2022 adalah 11%.
Sebagai contoh, PT Gamma membeli peralatan kantor dari CV Zeta seharga Rp18.000.000.
Perhitungan DPP dan PPN:
DPP = (100 ÷ 111) × Rp18.000.000 = Rp16.216.216
PPN = (11 ÷ 111) × Rp18.000.000 = Rp1.783.784
Total Harga = DPP + PPN = Rp16.216.216 + Rp1.783.784
= Rp18.000.000
Total harga yang harus dibayarkan PT Gamma adalah Rp18.000.000, di mana DPP-nya Rp16.216.216 dan PPN Rp1.783.784.
Cara menghitung DPP PPh 21
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21 adalah nilai penghasilan neto yang menjadi acuan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang dipotong dari penghasilan pegawai atau penerima penghasilan lain.
Perhitungan DPP PPh 21 berbeda tergantung status pegawai, jenis penghasilan, dan tunjangan yang diberikan.
1. Pegawai Tetap
Untuk pegawai tetap, DPP PPh 21 dihitung dari total penghasilan bruto selama sebulan atau setahun, dikurangi:
- Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp500.000 per bulan atau Rp6.000.000 per tahun
- Iuran pensiun yang dibayar pegawai ke dana pensiun resmi
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status pernikahan dan tanggungan
Rumus dasar:
DPP PPh 21 = (Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan – Iuran Pensiun) – PTKP
Contoh:
Tuan B bekerja di PT ABC, gaji bulanan Rp12.000.000, belum menikah, iuran pensiun Rp200.000 per bulan.
- Gaji setahun = 12 x Rp12.000.000 = Rp144.000.000
- Biaya jabatan = 5% x Rp144.000.000 = Rp7.200.000 (maksimal Rp6.000.000) → Rp6.000.000
- Iuran pensiun setahun = 12 x Rp200.000 = Rp2.400.000
- PTKP = Rp54.000.000
DPP PPh 21 = Rp144.000.000 – Rp6.000.000 – Rp2.400.000 – Rp54.000.000
= Rp81.600.000
2. Pegawai Tidak Tetap
Bagi pegawai tidak tetap, misal pekerja harian atau borongan, DPP dihitung dari penghasilan bruto dalam sebulan, dikurangi PTKP proporsional atau potongan tetap (misal Rp200.000 jika penghasilan kecil).
Contoh:
Ibu C menerima upah borongan Rp3.000.000 per bulan. Karena penghasilan < Rp2.025.000, DPP PPh 21 = Rp3.000.000 – Rp200.000 = Rp2.800.000
3. Penerima Pensiun
DPP untuk penerima pensiun dihitung dari total penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (maksimal Rp2.400.000 per tahun) dan PTKP.
4. Bukan Pegawai/Imbalan Tidak Berkesinambungan
Untuk pihak bukan pegawai, DPP dihitung dari 50% penghasilan bruto jika imbalan bersifat tidak berkesinambungan, kemudian dikurangi PTKP bulanan.
Baca Juga: Cara Hitung Gross Up PPh 21, Rumus, dan Contoh Perhitungannya!
Aman dari Denda Pajak, Atur Gaji dan PPh 21 Otomatis Pakai HRIS KantorKu!
Jangan sampai perhitungan gaji dan pajak karyawan menjadi bumerang bagi perusahaan Anda. Kesalahan kecil dalam menghitung PPh 21 atau PPN bisa memicu sanksi pajak, denda, dan masalah audit yang merugikan.
Bayangkan jika pegawai Anda mempertanyakan slip gaji yang salah atau laporan pajak terlambat, reputasi perusahaan bisa ikut terdampak!

Dengan HRIS KantorKu, semua perhitungan payroll dan pajak dilakukan otomatis, akurat, dan sesuai aturan terbaru.
Anda bisa memantau gaji, DPP PPh 21, PPN, hingga potongan pajak lain tanpa khawatir salah hitung.
Jangan tunggu masalah muncul, yuk saatnya kelola payroll dan pajak perusahaan Anda sekarang juga dengan HRIS KantorKu!
Tertarik Pakai HRIS KantorKu?
Ingin Coba Tanya Dulu?

Related Articles

10 Alasan PHK Resmi & Sah Berdasarkan UU Cipta Kerja Terbaru

Management by Objective (MBO): Arti, Manfaat, & Tahapan
