Pajak Bonus Akhir Tahun: Aturan & Cara Menghitungnya
Pajak bonus akhir tahun dikenai PPh 21 dengan skema TER sesuai PMK 168/2023. Besaran pajak dihitung dari penghasilan bruto bulanan.
Table of Contents
- Apa itu Pajak Bonus Akhir Tahun?
- Apakah Bonus Akhir Tahun Kena Pajak?
- Aturan Baru Pajak Bonus Akhir Tahun: Metode TER
- Cara Menghitung Pajak Bonus Akhir Tahun PPH 21
- Simulasi Perhitungan Pajak Bonus Akhir Tahun
- Kenapa Potongan Pajak Bonus Terasa "Lebih Sakit"?
- Masalah Umum HRD saat Hitung Pajak Bonus
- FAQ
- Kelola Pembayaran Pajak Bonus Karyawan Anda Secara Otomatis dengan KantorKu HRIS
Table of Contents
- Apa itu Pajak Bonus Akhir Tahun?
- Apakah Bonus Akhir Tahun Kena Pajak?
- Aturan Baru Pajak Bonus Akhir Tahun: Metode TER
- Cara Menghitung Pajak Bonus Akhir Tahun PPH 21
- Simulasi Perhitungan Pajak Bonus Akhir Tahun
- Kenapa Potongan Pajak Bonus Terasa "Lebih Sakit"?
- Masalah Umum HRD saat Hitung Pajak Bonus
- FAQ
- Kelola Pembayaran Pajak Bonus Karyawan Anda Secara Otomatis dengan KantorKu HRIS
Pajak bonus akhir tahun sering jadi hal yang diresahkan karena pada kenyataannya, bonus tetap dianggap penghasilan yang otomatis dikenai PPh 21, dan inilah yang membuat banyak karyawan kaget saat melihat potongan besar di slip gaji mereka, terutama sejak penerapan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Masih dalam konteks pajak bonus akhir tahun, di Amerika Serikat, badan pajak Internal Revenue Service (IRS) mereka menggolongkan bonus sebagai “supplemental wages,” dan perusahaan biasanya memotong pajak federal dengan tarif tetap 22% jika bonus dibayarkan terpisah dari gaji rutin.
Selain nominal bonus yang mengecil, pada akhirnya banyak pekerja merasa “kejutan” saat menerima bonus. Sebab, mereka mengira bonus adalah tambahan bersih, tetapi ternyata potongan pajaknya terasa berat.
Sama seperti di AS, di Indonesia pun banyak para pekerja yang bertanya-tanya mengapa bonus mereka ikut dipotong, padahal bonus tetap bagian dari income dan bisa diperlakuan berbeda pada saat pemotongan.
Memahami bahwa bonus dikenai pajak dan bagaimana mekanisme pemotongannya, penting untuk mengelola ekspektasi. Jadi, tahan dulu anggapan bahwa bonus = uang “gratis”.
Jika Anda penasaran bagaimana mekanisme ini bisa terjadi di Indonesia, dan apa yang bisa para pelaku usaha dan HRD lakukan agar bonus tetap optimal, baca artikel ini sampai akhir
Apa itu Pajak Bonus Akhir Tahun?

Pajak bonus akhir tahun adalah sebuah komponen yang merujuk pada aturan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang dikenakan atas penghasilan tambahan yang diterima karyawan di luar gaji reguler.
Bonus, bersama Tunjangan Hari Raya (THR), tantiem, jasa produksi, dan sejenisnya, termasuk dalam Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur.
- Sifat Tidak Teratur: Penghasilan ini diterima tidak setiap bulan atau dalam frekuensi yang tidak tetap sepanjang tahun pajak.
- Objek PPh 21: Sesuai undang-undang perpajakan, setiap penghasilan yang diterima karyawan sehubungan dengan pekerjaan adalah objek PPh 21, termasuk gaji, tunjangan, dan bonus.
Apakah Bonus Akhir Tahun Kena Pajak?
Ya, bonus akhir tahun kena pajak. Setiap bentuk penghasilan tambahan, termasuk bonus kinerja, pajak bonus tahunan, atau insentif lainnya yang diterima karyawan, wajib dikenakan pemotongan PPh 21.
Dasar Hukum
Adapun dasar hukum dan kewajiban pemotongan pajak atas bonus diatur dalam beberapa regulasi utama di Indonesia, seperti:
- Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 (UU HPP): Dasar hukum utama harmonisasi peraturan perpajakan.
- Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022: Mengatur kewajiban pemotongan PPh.
- Peraturan Menteri Keuangan No. 168 Tahun 2023: Menjadi pedoman teknis terbaru untuk pemotongan PPh 21.
Dalam aturan teknis sebelumnya seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 (Pasal 1 Ayat 16), telah ditegaskan bahwa bonus adalah bagian dari penghasilan yang tidak teratur dan merupakan objek PPh 21.
Selama total penghasilan setahun karyawan (termasuk bonus) melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka ia wajib dipotong pajak.
Aturan Baru Pajak Bonus Akhir Tahun: Metode TER
Sejak 1 Januari 2024, terdapat perubahan signifikan dalam cara perhitungan PPh 21 bulanan dengan diberlakukannya Tarif Efektif Rata-rata (TER).
Kebijakan ini diatur dalam Permenkeu 168/PMK.03/2023 dan merupakan perubahan besar karena seluruh perusahaan kini wajib menggunakan TER untuk penghitungan pajak karyawan yang bersifat penghasilan teratur (gaji, tunjangan tetap, dan sejenisnya).
Berikut beberapa poin penting mengenai Tarif Efektif Rata-rata (TER):
1. Tujuan Utama Metode TER
Perlu Anda ketahui, metode TER pada akhirnya dirancang untuk mengakomodasi beberapa hal berikut:
- Menyederhanakan perhitungan PPh 21 bulanan, sehingga HRD/payroll tidak perlu menghitung proyeksi pajak setahun penuh di setiap bulan.
- Mengurangi beban administratif dengan penggunaan tarif rata-rata berdasarkan lapisan penghasilan.
- Membuat pemotongan pajak lebih konsisten per bulan, tanpa naik-turun signifikan.
Dengan TER, perusahaan hanya mengalikan penghasilan bruto bulanan dengan tarif efektif sesuai bracket penghasilan tanpa perhitungan tahunan yang rumit.
2. Penghasilan Tidak Teratur (Bonus, THR, Komisi Besar) Tidak Menggunakan TER
Walaupun TER wajib digunakan untuk penghasilan teratur, aturan ini tidak menghapus metode lama untuk menghitung pajak atas penghasilan tidak teratur, seperti:
- Bonus akhir tahun
- Bonus kinerja
- THR
- Komisi tidak rutin
- Insentif tidak tetap
Untuk komponen ini, perusahaan tetap menggunakan metode perhitungan tahunan atau metode yang selama ini dipakai seperti:
- Gross
- Gross-up
- Net (take-home pay)
Artinya, meskipun sistem bulanan berubah ke TER, hitung pajak bonus akhir tahun tetap menggunakan pendekatan lama agar hasil akhirnya akurat sesuai ketentuan PPh 21 tahunan.
Baca Juga: Cara Hitung Gross Up PPh 21, Rumus, & Contoh Perhitungannya!
3. Apa yang Sebenarnya Berubah?
Perubahan utamanya bukan pada cara menghitung pajak bonus secara tahunan, tetapi pada masa pajak (bulan) saat bonus dibayarkan.
Begini gambaran sederhananya:
a. Sebelum 2024 (Sistem Lama):
- HRD menghitung pajak bulanan dengan proyeksi penghasilan setahun penuh.
- Ketika bonus dibayarkan, HRD tinggal menambahkannya ke penghasilan setahun dan menghitung ulang PPh 21 tahunan (annualisasi).
b. Mulai 2024 (TER):
- Gaji bulanan menggunakan TER → lebih sederhana.
- Bonus tetap harus dilakukan annualize (pakai metode lama), karena termasuk penghasilan tidak teratur.
- Namun, selisih pajak hasil metode tahunan vs TER akan muncul pada bulan bonus dibayarkan, sehingga pemotongan di bulan itu bisa tampak lebih besar.
4. Dampak Untuk Karyawan
Perubahan metode perhitungan pajak melalui TER telah memengaruhi cara HRD menghitung PPh 21 bulanan, serta menimbulkan konsekuensi langsung bagi karyawan, terutama pada bulan ketika bonus dibayarkan.
Karena bonus dihitung dengan mekanisme berbeda dari gaji bulanan, pemotongan pajaknya sering terlihat lebih besar dan membuat banyak karyawan merasa nilai bonus bersihnya tidak sesuai ekspektasi.
Berikut dampak yang paling sering dirasakan:
- Pemotongan pajak bulan bonus bisa terlihat lebih besar dari biasanya, karena ada penyesuaian antara:
- PPh 21 gaji bulanan (TER), dan
- PPh 21 total tahunan setelah bonus dimasukkan.
- Banyak karyawan merasa “bonusnya jadi kecil”, padahal:
- Bonus dikenai tarif progresif sesuai total penghasilan setahun.
- TER tidak berlaku untuk bonus, jadi perhitungannya memang berbeda.
- Ini juga alasan mengapa slip gaji bulan bonus biasanya memuat pajak tambahan.
Cara Menghitung Pajak Bonus Akhir Tahun PPH 21
Perlu dipahami sejak awal bahwa Metode TER hanya digunakan untuk menghitung PPh 21 atas penghasilan teratur seperti gaji pokok, tunjangan tetap, dan penghasilan rutin bulanan lainnya.
Sedangkan bonus akhir tahun dikategorikan sebagai penghasilan tidak teratur, sehingga tidak boleh dihitung menggunakan TER.
Oleh karena itu, perhitungan pajak bonus akhir tahun tetap menggunakan perhitungan tahunan (annualisasi) atau metode lama (gross, gross-up, atau net).
Agar tidak bingung, berikut panduan lengkapnya:
1. Tentukan Penghasilan Teratur (Bulanan) dan Hitung Pajak Bulanannya dengan TER
Langkah awal tetap mengikuti aturan TER, karena TER digunakan untuk gaji rutin bulanan, bukan untuk bonus.
- Hitung penghasilan bruto bulanan
(Gaji pokok + Tunjangan tetap + Tunjangan lain yang bersifat teratur).
- Tentukan Tarif Efektif Rata-rata (TER) berdasarkan lapisan penghasilan.
- Hitung:
PPh 21 bulanan = Penghasilan Bruto × TER
- Pajak ini menjadi pajak bulan berjalan tanpa bonus
2. Ketika Bonus Dibayarkan, Hitung Pajak dengan Metode Tahunan
Karena bonus adalah penghasilan tidak teratur, maka perhitungan pajaknya memakai prinsip annualisasi.
Berikut adalah tahapan menghitung pajak bonus:
a. Hitung Penghasilan Bruto Setahun (Tanpa Bonus)
Ambil seluruh komponen teratur:
- Gaji pokok × 12
- Tunjangan tetap × 12
- Tunjangan teratur lainnya × 12
b. Tambahkan Bonus ke Penghasilan Setahun
Setelah penghasilan rutin dihitung, tambahkan bonus akhir tahun.
c. Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tahunan
Gunakan rumus standar PPh 21:
- Penghasilan bruto setahun
- dikurangi biaya jabatan 5% (maks Rp 500.000/bulan atau Rp 6.000.000/tahun)
- dikurangi iuran pensiun (jika ada)
- dikurangi PTKP (sesuai status: TK/0, K/1, dst.)
Hasilnya = PKP tahunan (setelah memasukkan bonus).
d. Hitung PPh 21 Tahunan berdasarkan Tarif Progresif
Gunakan tarif progresif pasal 17:
- 5%
- 15%
- 25%
- 30%
- 35%
Ini menghasilkan Total PPh 21 tahunan setelah bonus.
3. Bandingkan PPh 21 Tahunan (Setelah Bonus) Dengan PPh 21 yang Sudah Dipotong Sebelumnya
Bagian inilah yang membuat pemotongan pajak pada bulan bonus terlihat jauh lebih besar dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Rumus:
Pajak tambahan bulan bonus = PPh 21 tahunan (setelah bonus) − PPh 21 yang sudah dipotong bulan-bulan sebelumnya
Di mana:
Pajak yang sudah dipotong = pajak bulanan berbasis TER × jumlah bulan berjalan (misal Januari–Desember sebelum bonus)
Hasilnya adalah:
- Pajak tambahan yang harus dibayar
- Biasanya dipotong langsung pada bulan bonus
Itulah alasan bulan bonus selalu terlihat berat, karena terjadi penyesuaian pajak setahun penuh.
Baca Juga: Cara Mendapatkan Bukti Potong Pajak PPh 21 [+ Contoh]
4. Tentukan Apakah Perusahaan Pakai Gross, Gross-Up, atau Net
Setelah pajak bonus dihitung menggunakan mekanisme tahunan, langkah berikutnya adalah menentukan siapa yang sebenarnya menanggung beban pajaknya, apakah karyawan, perusahaan, atau dibagi melalui tunjangan pajak.
Penentuan metode ini sangat penting karena langsung memengaruhi jumlah bonus bersih yang diterima karyawan serta biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Pada praktik HR dan payroll, terdapat tiga metode umum yang digunakan:
1. Metode Gross
Pada metode gross, seluruh pajak atas bonus ditanggung oleh karyawan. Metode ini paling umum digunakan oleh perusahaan karena tidak menambah biaya operasional.
- Pajak dipotong langsung dari nilai bonus pada slip gaji bulan tersebut.
- Misalnya, jika bonus Rp10.000.000 dan pajak Rp1.500.000, maka yang diterima karyawan adalah Rp8.500.000.
- Perusahaan hanya membayarkan bonus bruto tanpa tambahan tunjangan pajak.
2. Metode Gross-Up
Dalam metode gross-up, perusahaan memberikan tunjangan pajak agar karyawan menerima bonus lebih besar. Metode ini juga dianggap adil karena pajak tidak sepenuhnya dibebankan ke karyawan.
Cara kerjanya:
- HRD menghitung pajak atas bonus.
- Perusahaan menambahkan sejumlah tunjangan pajak ke penghasilan karyawan.
- Karena tunjangan tersebut juga termasuk objek pajak, pajak dihitung ulang.
- Hasil akhirnya: karyawan menerima bonus lebih besar dibanding metode gross.
3. Metode Net
Metode net membuat karyawan menerima bonus utuh (take-home pay tidak berkurang) karena perusahaan menanggung seluruh pajaknya. Metode ini paling menguntungkan bagi karyawan, tetapi paling mahal bagi perusahaan.
- HRD menghitung pajak bonus seperti biasa.
- Pajak tersebut dibayarkan oleh perusahaan, bukan dipotong dari bonus karyawan.
- Misalnya, jika bonus Rp10.000.000 dan pajak Rp1.500.000, maka karyawan tetap menerima Rp10.000.000 penuh.
Baca Juga: Apa itu Gaji Nett Salary? Cara Hitung, & Perbedaan dengan Gross
5. Pemotongan Pajak Dilakukan pada Bulan Bonus Dibayarkan
Setelah pajak tambahan dihitung, HRD akan memasukkan hal berikut ini pada slip gaji di bulan bonus tersebut didapatkan:
- Bonus bruto
- Pajak tambahan yang harus dibayar
- Metode penanggung pajak (gross/gross-up/net)
- Pajak final bulan bonus
Simulasi Perhitungan Pajak Bonus Akhir Tahun
Berikut adalah 3 contoh kasus perhitungan PPh 21 atas bonus dengan asumsi hitungan menggunakan metode konvensional untuk mendapatkan PPh 21 Terutang Bonus, dan status PTKP TK/0 (Tidak Kawin/0 Tanggungan, PTKP = Rp54.000.000). Biaya Jabatan (BJ) = 5% dari Bruto, maks. Rp6.000.000/tahun.
Silakan simak simulasi perhitungan pajak bonus akhir tahun tersebut:
1. Kasus Karyawan Gaji Rendah (PKP di Lapisan 5%)
Seorang karyawan (TK/0) memiliki gaji netto/tahun Rp60.000.000. Ia menerima bonus sebesar Rp10.000.000.
a. PPh 21 dengan Bonus
- Netto dengan bonus: Rp60.000.000 + Rp10.000.000 = Rp70.000.000
- PKP dengan Bonus: Rp70.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp16.000.000
- PPh 21 terutang (A): Rp16.000.000 x 5% = Rp800.000
b. PPh 21 Tanpa Bonus
- Netto tanpa bonus: Rp60.000.000
- PKP tanpa bonus: Rp60.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp6.000.000
- PPh 21 terutang (B): Rp6.000.000 x 5% = Rp300.000
c. Pajak Bonus
- Pajak bonus: Rp800.000 (A) – Rp300.000 (B) = Rp500.000
2. Kasus Karyawan Gaji Menengah (PKP di Lapisan 15%)
Seorang karyawan (TK/0) memiliki gaji netto/tahun Rp120.000.000. Ia menerima bonus sebesar Rp20.000.000.
a. PPh 21 dengan bonus
- Netto dengan bonus: Rp120.000.000 + Rp20.000.000 = Rp140.000.000
- PKP dengan bonus: Rp140.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp86.000.000
- Lapisan 5%: Rp60.000.000 x 5% = Rp3.000.000
- Lapisan 15%: (Rp86.000.000 – Rp60.000.000) x 15% = Rp26.000.000 x 15% = Rp3.900.000
- PPh 21 Terutang (A): Rp3.000.000 + Rp3.900.000 = Rp6.900.000
b. PPh 21 Tanpa Bonus
- Netto tanpa bonus: Rp120.000.000
- PKP tanpa bonus: Rp120.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp66.000.000
- Lapisan 5%: Rp60.000.000 x 5% = Rp3.000.000
- Lapisan 15%: (Rp66.000.000 – Rp60.000.000) x 15% = Rp6.000.000 x 15% = Rp900.000
- PPh 21 terutang (B): Rp3.000.000 + Rp900.000 = Rp3.900.000
c. Pajak Bonus
- Pajak bonus: Rp6.900.000 (A) – Rp3.900.000 (B) = Rp3.000.000
Jika Anda membagi pajak bonus dengan nilai bonus (Rp3.000.000/Rp20.000.000), hasilnya adalah 15%.
Inilah mengapa sering muncul pertanyaan “berapa pajak bonus tahunan” dan sering kali angka 15 persen disebut, karena bonus tersebut “mendorong” penghasilan karyawan ke lapisan pajak yang lebih tinggi.
3. Kasus Karyawan Gaji Tinggi (PKP di Lapisan 25%)
Seorang karyawan (TK/0) memiliki gaji netto/tahun Rp300.000.000. Ia menerima bonus sebesar Rp50.000.000.
a. PPh 21 dengan Bonus
- Netto dengan bonus: Rp300.000.000 + Rp50.000.000 = Rp350.000.000
- PKP dengan bonus: Rp350.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp296.000.000
- Lapisan 5%: Rp60.000.000 x 5% = Rp3.000.000
- Lapisan 15%: (Rp250.000.000 – Rp60.000.000) x 15% = Rp190.000.000 x 15% = Rp28.500.000
- Lapisan 25%: (Rp296.000.000 – Rp250.000.000) x 25% = Rp46.000.000 x 25% = Rp11.500.000
- PPh 21 terutang (A): Rp3.000.000 + Rp28.500.000 + Rp11.500.000 = Rp43.000.000
b. PPh 21 Tanpa Bonus
- Netto tanpa bonus: Rp300.000.000
- PKP tanpa bonus: Rp300.000.000 (Netto) – Rp54.000.000 (PTKP) = Rp246.000.000
- Lapisan 5%: Rp60.000.000 x 5% = Rp3.000.000
- Lapisan 15%: (Rp246.000.000 – Rp60.000.000) x 15% = Rp186.000.000 x 15% = Rp27.900.000
- PPh 21 terutang (B): Rp3.000.000 + Rp27.900.000 = Rp30.900.000
c. Pajak Bonus
- Pajak Bonus: Rp43.000.000 (A) – Rp30.900.000 (B) = Rp12.100.000
Kenapa Potongan Pajak Bonus Terasa “Lebih Sakit”?
Sering kali, karyawan merasa bahwa potongan pajak saat menerima bonus terasa jauh lebih besar, atau bahkan melihat persentase seperti pajak bonus melonjak. Hal ini terjadi karena prinsip perhitungan pajak di Indonesia adalah akumulatif, bukan insidental.
Saat bonus ditambahkan ke penghasilan, total Penghasilan Kena Pajak (PKP) karyawan meningkat. Kenaikan ini dapat mendorong sebagian atau seluruh nilai bonus untuk dikenakan pada lapisan tarif PPh 21 yang lebih tinggi (dari 5% ke 15%, dari 15% ke 25%, dst.), sesuai dengan skema pajak progresif.
Misalnya, jika PKP karyawan sudah mencapai Rp240 juta, penambahan bonus Rp20 juta akan membuat bonus tersebut dikenakan tarif 15%, bahkan jika sebagian kecil bonus tersebut (atau seluruhnya) “terdorong” ke lapisan 25% karena total PKP menjadi lebih dari Rp250 juta (batas lapisan 15%).
Masalah Umum HRD saat Hitung Pajak Bonus
Perhitungan bonus dan pajaknya adalah salah satu momen tersulit dalam administrasi SDM. Tanpa cara hitung pajak bonus 2025 yang otomatis, HRD sering menghadapi masalah seperti di bawah ini:
1. Kesalahan Penerapan Tarif Progresif
Menerapkan tarif yang salah karena tidak cermat menghitung akumulasi PKP hingga bulan bonus dibayarkan.
2. Hitungan Biaya Jabatan yang Tidak Tepat
Biaya jabatan harus dihitung berdasarkan total penghasilan bruto setahun, dan batas maksimumnya adalah Rp6.000.000. Kesalahan dalam menghitung atau membatasi Biaya Jabatan sering terjadi.
3. Komunikasi yang Buruk ke Karyawan
Karyawan hanya melihat nilai bonus yang besar, lalu terkejut dengan potongan yang “terlalu besar.” Kurangnya transparansi tentang bagaimana bonus itu didorong ke lapisan pajak yang lebih tinggi sering memicu keluhan.
4. Perhitungan PTKP yang Salah
Status PTKP (Kawin/Tidak Kawin, jumlah tanggungan) yang tidak up-to-date atau salah dimasukkan dapat menyebabkan seluruh perhitungan PPh 21 setahun, termasuk pajak bonus, menjadi keliru.
FAQ
Untuk melengkapi pemahaman Anda tentang pajak bonus akhir tahun dan menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial yang sering muncul di kalangan HRD dan karyawan, berikut kami sajikan beberapa pertanyaan umum beserta jawabannya:
1. Apakah pajak bonus bisa ditanggung kantor?
Ya, bisa. Ini dikenal sebagai metode Net, sehingga karyawan menerima bonus bersih, pajak ditanggung kantor. Bisa juga dengan metode Gross-up, yaitu perusahaan memberikan tunjangan pajak yang nilainya sama dengan PPh 21 terutang, sehingga bonus yang diterima karyawan utuh. Kebijakan ini tergantung pada perusahaan Anda.
2. Kapan pajak bonus harus disetor?
PPh 21 atas bonus harus dipotong oleh perusahaan pada bulan bonus dibayarkan dan disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
3. Apakah bonus kena potongan BPJS juga?
Bonus tidak dikenakan potongan iuran BPJS Ketenagakerjaan (JHT dan JP) atau BPJS Kesehatan. Potongan BPJS hanya didasarkan pada gaji dan tunjangan tetap (penghasilan teratur) dengan batasan plafon tertentu.
Kelola Pembayaran Pajak Bonus Karyawan Anda Secara Otomatis dengan KantorKu HRIS
Mengelola pajak bonus akhir tahun sering menjadi pekerjaan paling rumit di periode payroll, terutama karena perhitungan PPh 21, metode pajak (Gross, Gross-Up, Net), serta komponen penghasilan yang berubah di bulan bonus. Tanpa sistem yang tepat, risiko salah hitung, selisih pajak, hingga komplain karyawan dapat meningkat.
KantorKu HRIS hadir sebagai solusi dengan software payroll otomatis yang memastikan setiap perhitungan pajak bonus akurat, transparan, dan sesuai regulasi terbaru.
KantorKu HRIS Dapat Memudahkan Anda:
- Menghitung PPh 21 bonus secara otomatis berdasarkan metode pajak perusahaan.
- Menyesuaikan komponen penghasilan bulan bonus (THP, tunjangan, potongan).
- Menghasilkan slip gaji bulan bonus secara otomatis dan rapi.
- Mengurangi kesalahan manual saat periode peak payroll.
- Memastikan pelaporan pajak lebih cepat dan akurat.
Kelola pembayaran pajak bonus karyawan Anda secara otomatis dengan KantorKu HRIS, ssehingga lebih cepat, lebih akurat, dan jauh lebih efisien.
Tertarik Coba KantorKu HRIS?
Dapatkan Demo Gratis Selama 14 Hari!
Sumber:
Direktorat Jenderal Pajak. Tarif Efektif Rata-rata: Penyempurnaan Perhitungan PPh Pasal 21.
Internal Revenue Service. (2025). Publication 15 (Circular E): Employer’s Tax Guide. U.S. Department of the Treasury.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi. Jakarta: Kemenkeu RI.
Pemerintah Republik Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2016). Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.
Republik Indonesia. (2021). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Jakarta: Sekretariat Negara.
Related Articles
Bonus Tahunan Karyawan: Cara Menghitung, Kewajiban, & Dasar Hukumnya
10 Jenis Bonus Tahunan Karyawan: THR, Gaji ke-13, Tantiem, & Performance Bonus
